Pages

Thursday, 8 December 2011

Pendakian ke puncak Gunung Gede melalui Jalur Putri dan Jalur Cibodas

Gunung gede dapat didaki dengan beberapa rute, namun sampai saat ini saya hanya pernah mendaki Gunung Gede melalui Jalur Putri dan Jalur Cibodas. Pendakian ke Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango saat ini harus dengan sistem booking, dimana para pendaki harus mendaftarkan dirinya antara 2-30 hari sebelum pendakian di Kantor TNGP (Taman Nasional Gede Pangrango) Cibodas (utk semua jalur). Dengan persyaratan :   

1.  Setiap pendaki harus membawa surat ijin masuk kawasan (SIMAKSI) yang diperoleh dikantor Balai TNGP 2-30 hari sebelum waktu pendakian.
2.    Membayar biaya masuk:

Tiket Masuk:
Rp. 2.500,-/orang/hari (domestik)
Rp. 20.000,-/orang/hari (mancanegara)
Tiket Asuransi: Rp. 2.000,-/orang

3.      Menyerahkan copy identitas yang masih berlaku KTP / SIM / Kartu Pelajar / Kartu Mahasiswa / Paspor / KITAS
4.   Bagi yang berumur <17 tahun harus melampirkan surat ijin dan foto copy identitas orang tuanya.
5.   Setiap kelompok pendaki berjumah minimal 3 orang, bila jumlah anggota kelompok >10 orang harus melampirkan daftar nama rangkap 3 (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)

Berikut jam operasional kantor TNGP
Senin – Kamis                    : 07.30 – 15.30 WIB
Jumat                                 : 07.30 – 14.30 WIB
Sabtu dan  Minggu             : 08.00 – 14.00 WIB

 I.    Pendakian melalui Jalur Putri
Beberapa cara Untuk sampai ke tempat pendakian awal (Putri) dapat dilakukan dengan : 

a.   Dari arah Jawa/Bandung naik Bis jurusan Jakarta atau Bogor yg lewat puncak, turun di Pasar Cipanas, lalu naik angkot ke Putri.
b.    Dari Jakarta naik Bis jurusan bandung yang lewat puncak, turun di Pasar Cipanas, lalu naik angkot ke Putri.
c.     Atau dapat menyewa Bis atau mobil lalu langsung menuju Putri.


Perlu DICATAT, sebelum melakukan pendakian pastikan membawa perlengkapan standar, seperti  jaket, baju ganti, jas hujan, tenda, senter, kantong tidur, sarung tangan, topi/kupluk, sweater, matras, makanan dan minuman yang cukup (sangat sulit menemukan sumber air selama pendakian melalui jalur putri), obat-obatan/P3K

Sebelum mendaki ke gunung apapun, hendaknya mencamkan hal ini :
  • Dilarang mengambil apapun kecuali gambar (foto)
  • Dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak kaki
  • Dilarang membunuh apapun kecuali waktu


Biasanya saya mulai melakukan pendakian ke Gunung Gede sekitar jam 01.00 – 02.00 WIB. Memang lebih berat karena selain berjuang mengalahkan tanjakan pendakian,, rasa kantuk dan lelah merupakan “musuh” nomor satu. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk melakukan pendakian bersama2 dalam group atau kelompok.
Ada 6 pos atau shelter yang harus dilalui untuk sampai ke alun-alun Surya Kencana. Yang mana jarak masing2 pos berbeda satu dengan yang lainnya.
Dari posko pendakian (start awal) sampai pos/shelter ke-2 medan tanjakannya tidak terlalu berat. Pada awal pendakian, mayoritas dikelilingi oleh hamparan sawah yang sangat luas di sebelah kanan dan kiri. 

pemandangan sawah 

Setelah berjalan kurang dari 45 menit, terdapat rumah kosong yang tidak memiliki dinding. Ini  merupakan pos-1 pada pendakian ini. Biasanya sepanjang pendakian, pasti berpapasan dengan group atau rombongan lain yang hendak mendaki ke gunung gede atau sebaliknya turun dari gunung gede. Setelah beristirahat beberapa menit pada pos-1, saya dan rombongan melanjutkan pendakian. Disetiap pos tersedia beberapa tempat duduk untuk melepas lelah. Hampir seluruh pos yang ada selama proses pendakian berada dalam kondisi memprihatinkan, dan sebagian rusak cukup parah (kenapa ga diperbaiki ya kalo rusak?).
Tanjakan yang sedikit lebih terjal menyambut kami disepanjang pendakian menuju pos-2. Biasanya anggota rombongan akan terpisah menjadi beberapa kelompok2 kecil pada saat mendaki karena faktor cadangan tenaga, dan faktor fisik. Pendakian dilanjutkan kembali, tanjakan terjal dan cukup panjang yang berada di antara pepohonan besar harus dilewati. Tak jarang saya dan rombongan saling bantu membantu sewaktu melewati akar-akar pohon bahkan batu yang cukup besar disepanjang jalur pendakian.
Beberapa menit beristirahat di pos3, saya dan rombongan melanjutkan pendakian. Kali ini jalur pendakian semakin bertambah “parah”, karena jalu yang ditempuh semakin berat. tanjakan sedikit lebih curam, terjal, berbatu, dan pastinya semakin licin. 

salah satu tanjakan

Suara hewan malam dan hembusan nafas (maklum, lumayan capek) teman rombongan seolah tak henti berbunyi. Tepat di pos ke-4 mayoritas anggota rombongan beristirahat sedikit lama sambil menikmati air minum dan snack yang dibawa (biasanya coklat atau gula merah) guna memulihkan tenaga.
Mulai dari pos-4 sampai dengan sebelum pos-6, tanjakannya AJIIIIBB, mantaaapp euyy, bahkan ada beberapa bagian dari jalur pendakian tersebut yang sangat curam, dan memaksa kami mendaki dengan bantuan kedua tangan sebagai tumpuan ditanah (tingkat kemiringan jalur pendakian cukup ekstrim). Butuh tenaga ekstra dan napas yang lebih panjang untuk menaklukkan tanjakan tersebut. Medan yang ditempuh semakin licin (karena embun yang turun atau karena hujan), berbatu dan semakin terjal. Disinilah team work anggota rombongan diperlukan, tolong menolong antara satu dengan yang lain sangat diperlukan unttuk mengalahkan tanjakan tersebut. Bagi pendaki pemula kebanyakan kehabisan tenaga begitu melewati pos-4, biasanya diantara teman saling memberikan dorongan dan sugesti positif ke teman lain begitu medan yang hendak dilalui bertambah “parah”. Beberapa kali saya harus berhenti menunggu anggota rombongan yang lain sambil “tidur” sejenak.
Begitu fajar menyingsing berkas2 sinar matahari membelah pepohonan yang sangat rimbun, ini merupakan pemandangan yang sangat cantik.
Sangat dimaklumi kalau jarak antara sesama anggota rombongan yang sama terpisah cukup jauh selama proses pendakian, sebab daya tahan dan tenaga masing2 anggota rombongan berbeda. Intensitas bernafas semakin cepat menandakan tanjakan cukup terjal dan kandungan oksigen semakin menipis.
Biasanya jalanan lurus atau sedikit menurun selama proses pendakian disebut “bonus” (menurut teman2 yang pernah mendaki).
Sebelum sampai di pos 5, hujan turun rintik-rintik. Hal ini tak menyurutkan niat kami untuk tetap mendaki. Begitu sampai di pos-5 hujan turun semakin deras, mantel hujan pun berperan disini. Sekitar 10 menit beristirahat di pos 5, saya dan beberapa teman rombongan memutuskan untuk kembali melanjutkan pendakian.
Jarak dari pos-5 ke pos-6 tidak begitu jauh, hanya ada beberapa tanjakan terjal. Begitu jalur pendakian semakin landai bahkan mendatar, menandakan kalau pos-6 berada tidak jauh didepan.
Akhirnya saya tiba di pos-6 (pos terakhir), pos-6  merupakan pintu masuk ke alun-alun Surya Kencana (sisi timur) yang didominasi oleh bunga eidelweis, savana yang sangat luas, berbagai macam jenis rumput, dan bunga2 kecil lainnya. Sungguh sebuah maha karya sang pencipta, sangat indah. 

taman edelweis

perjalanan ke alun-alun surya kencana barat

Kebanyakan yang hendak mendaki Gunung Gede melalui jalur putri mendirikan kemah/tenda di alun-alun Surya Kencana sisi barat, sebab dekat dengan sumber air. Oleh karena itu dibutuhkan perjalanan sekitar 30 menit dari alun-alun Surya Kencana sisi timur ke alun-alun Surya Kencana sisi Barat.

alun-alun surya kencana bagian barat

Kami mendirikan tenda di alun-alun Surya Kencana sisi Barat. Letih dan lelah selama proses pendakian seolah hilang melihat indahnya pemandangan yang tersaji. Terkadang kabut turun yang membuat jarak pandang semakin pendek.
Pada malam hari hujan turun dengan deras, bahkan air hujan masuk merembes dari sisi-sisi tenda. Rasanya dingiiiiiiiiinnn minta ampun. Jaket tebal dan sleeping bag seolah tak cukup untuk melawan dingin tersebut. Oleh karena itu, tidur berdempet2an (pake sleeping bag masing2 lhooo =D) menjadi salah satu alternative untuk membuat suhu tubuh menjadi sedikit lebih hangat.

tempat berkemah di alun-alun surya kencana sebelah barat

Keesokan harinya mayoritas anggota rombongan memutuskan untuk naik ke puncak gunung gede, dibutuhkan waktu pendakian sekitar lebih kurang 1 jam.
Begitu sampai di puncak Gunung Gede, rasa puas dan puas (bahkan teriaaaak) menghinggapi hampir setiap orang yang berhasil mendaki sampai ke puncak Gunung Gede. Tak jarang ditemukan banyak rombongan lain yang mendirikan kemah/tenda di puncak Gunung Gede. Dari puncak Gunung Gede dapat terlihat dengan Jelas Puncak Gunung Pangrango. Luar Biasa.

Kawah gunung gede

puncak gunung gede

Puas foto-foto, kami pun turun kembali ke keah untuk packing dan kembali turun ke putri.

Dapat disimpulkan, waktu yang dibutuhkan untuk mendaki sampai ke puncak Gunung Gede adalah :

Pos Penjagaan – Buntut Lutung = 1 jam

Buntut Lutung – ‘Alun-alun Suryakencana’ = 3 – 4 jam.
Alun-Alun Suryakencana – Puncak Gede = 1 – 1,5 jam



   II.  Pendakian melalui jalur Cibodas
Beberapa cara Untuk sampai ke tempat pendakian awal (Cibodas) dapat dilakukan dengan : 

a.    Dari arah Jawa/Bandung naik Bis jurusan Jakarta atau Bogor yg lewat puncak, turun di pertigaan Cibodas, lalu naik angkot ke Cibodas.
b.    Dari Jakarta naik Bis jurusan bandung yang lewat puncak, turun di pertigaan Cibodas, lalu naik angkot ke Cibodas.
c.     Atau dapat menyewa Bis atau mobil lalu langsung menuju Cibodas


Saya dan rombongan memulai pendakian sekitar pukul 01.00-02.00 WIB. Cukup banyak shelter yang harus ditempuh untuk sampai ke Kandang Badak ataupun ke puncak Gunung Gede. Berikut adalah list seluruh shelter yang harus ditempuh melalui jalur cibodas selama pendakian ke gunung gede :

1.    Pintu masuk cibodas (1250 mdpl)
Sebelum melakukan pendakian rombongan melapor ke posko pendakian agar seluruh data-data para pendaki gunung gede yang melalui jalur Cibodas dicatat.
foto sebelum mendaki

2.    Shelter Tarengtong
sekitar 15 menit berjalan sedikit menanjak, terdapat shelter tarengtong yang merupakan shelter pertama dalam proses pendakian. Berhubung masih baru mendaki tidak ada anggota rombongan yang berhenti pada shelter ini (lanjoooott).

3.    Shelter telaga biru (1575 mdpl)
Sekitar 20 menit berjalan, dari shelter tarengtong, kami pun tiba di shelter telaga biru. Shelter telaga biru merupakan perhentian kedua. Dinamakan telaga biru karena terkadang warna air pada telaga ini kebiru-biruan. Hal ini disebabkan karena adanya vegetasi ganggang biru yang sangat banyak pada telaga tersebut. Luas telaga biru ini sekitar 5 hektar (1575 mdpl), dan terletak sekitar 1,5 km dari pintu masuk cibodas.
Disekitar telaga biru sampai rawa panyangcangan dipenuhi oleh vegetasi submontana. Kalau sedang beruntung akan terlihat Owa Jawa bergelantungan di pohon-pohon besar, seperti pohon rasamala (biasanya pagi atau sore hari).

4.    Shelter rawa panyangcangan (1625 mdpl)
Shelter rawa panyangcangan merupakan sebuah pertigaan. Rute Sebelah kanan mengarah ke air terjun cibeureum, sedangkan rute menanjak sebelah kiri merupakan jalur yang harus ditempuh dalam pendakian ke puncak Gunung Gede.
Pada saat pendakian, sebagian anggota tim memilih untuk langsung melanjutkan pendakian dan sebagian lagi memutuskan untuk beristirahat sekitar 1 jam pada shelter ini sebelum melanjutkan pendakian.

Rawa Panyangcangan


5.    Shelter rawa denok 1
Shelter rawa denok 1 merupakan sebuah shelter kecil yang hanya terdiri dari tumpukan batu (tempat duduk) dan meja kecil dari batu untuk tempat beristirahat sementara.
Mulai dari shelter ini jarak antara anggota rombongan yang satu dengan yang lain semakin jauh, faktor kondisi tubuh dan faktor kecepatan recovery tenaga menjadi alasan utama.

6.    Shelter rawa denok 2
Shelter rawa denok 2 tidak jauh berbeda dengan shelter rawa denok 1.

7.    Shelter batu kukus 1
Pada shelter batu kukus 1 ini tanjakan bertambah sedikit curam. Jalan berkelok disekitar akar-akar pohon bahkan diantara pohon-pohon besar tersaji sedemikian rupa untuk ditaklukkan

8.    Shelter batu kukus 2
Sebelum sampai shelter batu kukus 2, tanjakan terjal harus ditaklukkan. Jalan mendatar bahkan sedikit menurun merupakan ‘bonus’ tepat sebelum shelter ini. Terkadang anggota rombongan berteriak dengan kode tertentu dan harus dibalas oleh anggota rombongan yang lain untuk mengetahui jarak anggota rombongan yang didepan dengan anggota rombongan yang dibelakangnya.

9.    Shelter Batu Kukus 3
Shelter batu kukus sedikit lebih besar dibanding shelter batu kukus 1 & 2. Sama seperti 2 shelter sebelumnnya, shelter ini merupakan salah satu tempat yang dapat dipilih untuk sejenak melepas lelah.
Sesuatu yang sudah menjadi ciri khas pendaki dari Indonesia adalah setiap bertemu atau berpapasan dengan anggota rombongan dari grup lain selalu mengucapkan salam (“mari mas/mbak”, “permisi mas/mbak”, “duluan mas/mbak”, semangat, dll). Hal ini merupakan cerminan dari budaya masyarakat Indonesia yang ramah dan sopan santun =D =D.

10. Pondok pemandangan
Pondok pemandangan merupakan salah satu tempat terbaik untuk menikmati pemandangan selama proses pendakian. Hamparan pepohonan, lembah, dan terkadang apabila beruntung hewan endemik khas gunung gede dapat dilihat.
Biasanya apabila pendaki yang sedang naik dan pendaki yang hendak turun berpapasan, jarak shelter yang masing2 sudah dilewati merupakan salah satu hal yang umum ditanyakan.
Mulai dari pondok pemandangan, tanjakan semakin curam dan berbatu sudah menanti. Tanjakan tiada ujung seolah menjadi menu wajib sejauh mata memandang kedepan.

11. Shelter air panas (2100 mdpl)
Sebelum sampai ke shelter ini, umumnya bau belerang tercium dari kejauhan. Perlu extra hati-hati sewaktu hendak melintas. Yang menjadi satu-satunya pengaman ketika melewati air terjun (air panas) ini adalah sebuah besi yang menjadi pembatas langsung antara jalan yang harus dilewati dengan jurang yang sangat terjal dan dalam. Selain itu akan lebih baik kalau tidak terlalu lama berada di sekitar tempat ini, karena bau belerang yang berbahaya bagi kesehatan.

Sebelum Shelter air panas

Suhu air panas disini sekitar 75 C, namun air bisa berubah menjadi sangat dingin saat hujan turun. Pemandangan disini sangat ber-aura mistis karena kepulan uap air dari bebatuan lava.
Tepat setelah melewati air panas tadi, terdapat Shelter air panas. Kadang tempat ini dijadikan tempat istirahat bahkan bermalam oleh para pendaki.
Sewaktu saya melewati tempat ini, parit kecil yang dialiri oleh air hangat (suhu air tidak sepanas air terjun sebelumnya) dijadikan tempat berendam, mandi atau hanya sekedar cuci muka dan sikat gigi.
Tak berapa jauh dari shelter air panas, pendakian tidak terlalu berat sebab jalur tanjakan hanya sedikit, sisanya jalur datar bahkan menurun.
Beberapa menit setelah shelter air panas, saya tiba di Lebak Saat (lembah tanpa air). Namun pada tempat ini bisa dijumpai aliran air yang bening, biasanya tempat ini merupakan salah satu alternative tempat berkemah atau sekedar beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke shelter kandang batu.
Banyak pohon2 tumbang yang menghiasi pendakian dari awal hingga sampai tempat ini, hal itu seolah menjadi pemanis dan pelengkap dalam pendakian kali ini (lebay deeehh =D). karena untuk melewati pohon tumbang yang menutupi jalur pendakian dapat melangkah melalui atas, atau melalui ruang/celah dibawah batang pohon, atau berputar disekitar pohon yang rubuh.

Pemandangan dari shelter air panas


12. Shelter Kandang Batu dan Kandang Badak
Dari kandang batu, jalur pendakian semakin menanjak, terjal, licin dan sangat banyak bebatuan. Dari kandang batu butuh sekitar 1 jam untuk sampai ke kandang badak yang menjadi tempat untuk berkemah. Jalur dari kandang batu ke kandang badak merupakan jalur yang paling parah dan membutuhkan tenaga ekstra. Berhubung kondisi disini sudah cukup tinggi, ketersediaan oksigen sedikit lebih tipis. Oleh karena itu, intensitas istirahat ketika melewati jalur ini semakin sering. Rasa kantuk yang cukup hebat kembali mendera ketika saya sampai di tempat ini, namun karena kandang badak tidak terlalu jauh di depan saya paksakan untuk tetap mendaki. Asupan karbohidrat dan glukosa sangat dibutuhkan dalam pendakian, oleh karena itu coklat atau gula merah merupakan salah satu pilihan dalam setiap pendakian.

Sekitar 1 jam perjalanan, akhirnya saya sampai di kandang badak. Dinamakan kandang badak karena menurut sejarah tempat ini pernah menjadi habitat badak dan semua hewan tersebut musnah akibat letusan besar gunung gede di tahun 1840-an. kandang badak merupakan tempat pertemuan jalur antara jalan yang menuju puncak gunung gede ke arah kiri (+- 1,5-2 jam) dan menuju puncak pangrango (+- 3-3,5 jam).
Akhirnya saya bersama seorang anggota rombongan tiba berbarengan di kandang badak, kami mendirikan kemah untuk dapat istirahat melepas lelah sambil menunggu anggota rombongan lain tiba.

salah satu spot di kandang badak


Setelah berisitirahat dan memulihkan tenaga dengan bermalam di kandang badak, kami memutuskan untuk mendaki ke puncak gunung gede guna melihat matahari terbit sekitar pukul 02.00 WIB keesokan harinya.
Untuk mendaki ke puncak cukup membawa air minum secukupnya, snack, senter, jaket, sarung tangan, kupluk, dan kamera tentunya. Namun barang2 berharga pribadi merupakan tanggung jawab masing2 pribadi.
.
13. Shelter panco weuleuh
Sekitar 30 menit berjalan, saya dan rombongan tiba Shelter panco weuleuh untuk beristirahat. Tidak ada yang special dari shelter ini selain sebuah batu besar. Tak berapa lama setelah beristirahat, kami kembali melanjutkan pendakian.

14. Shelter Tanjakan Rante / Tanjakan Setan
Tanjakan rante lebih terkenal dengan sebutan tanjakan setan. Saya Pribadi tidak tahu asal usul nama tanjakan setan. Namun dari informasi yang saya terima, tiap kali pendaki yang melihat jalur yang harus didaki biasanya berkata “setaaaann”. Karena jalurnya hampir vertical 80 derajat. Satu2nya pengaman untuk melewati tanjakan setan ini adalah seutas tali baja yang dirangkai saling sambung menyambung dengan tiang / pasak besi sampai tanjakan ini berakhir.
Demi keselematan, hendaknya melewati tanjakan setan satu persatu.

sebagian dari tanjakan setan

Setelah tanjakan setan akan ditemukan kawah ratu dan kawah wadon, kemudian kawah baru, lalu kawah lanang, serta kawah sela.

15. Puncak Gunung Gede
Butuh perjuangan lebih besar untuk sampai ke Puncak gunung gede, karena jalurnya semakin ekstrim, didominasi oleh batu2 dan pasir yang membuat jalur semakin berbahaya. Karena matahari akan terbit tidak lama lagi, saya dan beberapa anggota rombongan mendaki ke puncak gunung gede berpacu dengan waktu. Saya sarankan untuk melewati jalur di bagian tengah, karena walaupun sedikit lebih berat namun lebih aman dari pada mendaki pada sisi kiri ataupun kanan yang berbatasan langsung dengan jurang curam.
Akhirnya kami sampai di puncak gunung gede, teriakan “yessss berhasiiilll” atau teriakan lainnya yang menandakan pendakian kami berhasil keluar dari mulut masing2 anggota rombongan. Sungguh luar biasa ciptaan Tuhan, walaupun saya sudah pernah ke gunung gede, namun saya tetap takjub melihat keindahan pemandangan dari puncak gunung gede.


puncak gunung gede dengan background gunung pangrango

puncak gunung gede

Puas mengabadikan gambar dengan pose2 narsis kami kembali turun ke kandang badak untuk packing dan beres2 guna selanjutnya turun ke cibodas. 

Friday, 2 December 2011

Perjalanan ke Baduy Luar

Sebelum membahas lebih dalam mengenai suku badui luar, saya hendak berbagi informasi mengenai suku baduy luar.

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Untuk wilayah kanekes itu sendiri berada tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, yang hanya berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Berdasarkan cerita dari masyarakat setempat, nama baduy sendiri diambil dari nama sungai yang melewati wilayah itu yaitu sungai Cibaduy.
Masyarakat Baduy mayoritas memilik mata pencaharian sebagai petani (bertani) dan menjual buah-buahan yang mereka dapat dari hasil bercocok tanam ataupun langsung dari hutan.

Suku baduy terbagi atas 2 bagian besar, yaitu :
1. Badui Luar
2. Badui Dalam


Kali ini saya akan menceritakan mengenai perjalanan saya mengunjungi suku badui Luar. Awalnya saya sama sekali tidak tahu kalau suku baduy itu merupakan salah satu suku di banten, jawa barat (shame me). sampai suatu saat seorang teman lama (ferdinand a.k.a didi) mengajak saya untuk nge-trip untuk mengenal suku baduy luar serta melihat dari dekat keindahan alam dan budaya dari suku baduy luar tersebut. Awalnya saya bingung antara pergi atau tidak, namun berhubung saya juga butuh refreshing setelah bertempur dikantor seminggu penuh (read : kerja), akhirnya saya memutuskan untuk ikut.
Sebelum kami berangkat, diinformasikan bahwa untuk menjaga kebersihan dan kelestarian wilayah badui, kami disarankan untuk tidak membawa segala sesuatu yang terbuat dari besi (katanya sih hukum adat) dan bahan2 kimia yang berbahaya untuk lingkungan (sabun, dll).

pada tanggal 12 maret 2010, tepat pukul 22.00 WIB, saya beserta rombongan (trinity naked traveler, teman2 Couch Surfing Indonesia dan teman2 Couch Surfing dari Jerman) berangkat dari Jakarta menuju Terminal Ciboleger Banten, yaitu terminal terakhir yang bisa dijangkau oleh kendaraan umum.
Lebih kurang 4-5 jam menempuh perjalanan dengan medan jalan yang cukup parah, akhirnya kami tiba di terminal ciboleger, untuk selanjutnya berjalan kaki ke desa baduy luar. 


Terminal Ciboleger


saat itu matahari masih belum tinggi, tercium bau suasana pedesaan dan segarnya udara yang tidak tercemar oleh polusi. sambil menunggu local guide (pak erwin), kami mencicipi sarapan pagi (pisang goreng) yang dijual di salah satu warung tradisional terminal ciboleger.

Tujuan pertama kami saat itu adalah jembatan akar yang konon cukup terkenal. karena jembatan ini merupakan satu2nya jalan yang menghubungkan badui dalam luar dan badui dalam. Berhubung jaraknya cukup jauh, kami menggunakan bus dan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Bukit2 dan lembah2 memanjakan mata saya dan rombongan. Setelah berjalan sekitar 1 jam lebih dengan medan yang cukup terjal, kami sampai ke jembatan akar tersebut. Masyarakat setempat membuat jembatan ini memanfaatkan akar dari pohon2 yang ada disekitar sungai. sungguh sebuah mahakarya dari masyarakat setempat yang tidak memiliki background pendidikan arsitektur.
AMAZIIINNGG.


Jembatan Akar

Puas menikamati jembatan tersebut, kami kembali ke terminal ciboleger untuk melanjutkan perjalanan ke desa baduy luar.


Rumah tetua adat adalah tempat yang pertama kali harus kami kunjungi untuk meminta ijin masuk ke wilayah badui luar sambil memberi duit secara sukarela.
Sebelum jauh berjalan ketengah "hutan", kami mengunjungi rumah local guide yang merupakan representasi dari masyarakat setempat. tampak mesin tenun tradisional bukan mesin di teras rumah panggung beliau. sebagian masyarakat disana memiliki pekerjaan lain sebagai penjual accesories dan hiasan tenun.
yaakk, setelah istrahat sebentar kami memulai perjalanan kami. banyak saya jumpai lumbung padi dan alat penumbuk padi tradisonal pada desa yang kami lewati.


Alat Penumbuk Padi Tradisional


Sebagai informasi, kami harus melewati beberapa desa untuk sampai ke perkampungan tujuan kami. jalan terjal, licin dan menanjak menghiasi perjalanan. 


Salah satu tanjakan selama perjalanan


Kali ini kami cukup beruntung bertemu dengan beberapa anak kecil dari salah satu kampung, tawa riang dan sendau gurau lepas begitu saja dari mulut mereka. walaupun tidak semua masyarakat disana mengerti bahasa indonesia, namun mereka cukup senang dengan kehadiran kami disana.


Bersama anak suku Baduy Luar

Tak lupa kami menyapa (“selamat pagi” dan “permisi”) setiap kali kami bertemu dengan penduduk setempat. walaupun perjalanan cukup jauh, canda tawa terus menghiasi perjalanan sambil tak pernah lupa untuk tetap eksis di depan kamera tiap kali ada anggota rombongan mengeluarkan kameranya (wajib hukumnya tetap eksis).

Ada sebuah sungai yang sangat jenih, yang menurut informasi dari local guide, sungai tersebut sangat dijaga kebersihan dan kelestariannya oleh masyarakat setempat. saking terjaganya saya sangat ingin untuk nyemplung dan berenang disungai tersebut.
Tepat 3 jam berjalan, saya dan rombongan tiba di rumah penduduk yang kami sewa untuk menginap malam itu. rumahnya sangat tradisonal. rumah panggung dengan arsitektur cukup sederhana dengan lantai dari papan, tidak ada listrik didaerah tersebut sama sekali, toilet yang berada diluar rumah, bahkan sinyal telepon didaerah itu hanya dilayani oleh ind*s*t.
Tidak begitu jauh dari tempat kami akan menginap sebuah sungai yang masih menjadi bagian dari sungai yang saya sebutkan sebelumnya. batu2 terhampar secara alami, air sungai berwarna hijau, arus sungai yang tenang, pepohonan yang rimbun di sepanjang sungai dan desa tersebut menambah eksotisme dari desa tersebut.

Sungai di Baduy Luar


Ternyata sudah ada rombongan lain yang lebih dahulu sampai di tempat tersebut sebelum saya dan rombongan. Setelah beristirahat sebentar saya berinisiatif untuk langsung nyemplung ke sungai yang jernih tadi bersama beberapa orang dari rombongan lain, cukup dalam sungai tersebut, namun itu tidak mengurungkan niat saya untuk berenang di sungai tersebut. sekitar 30 menit berenang hujan pun turun cukup deras, tanpa disangka debit air dari hulu sungai meningkat yang mengakibatkan arus semakin deras dan sangat berbahaya untuk berenang. seluruh yang berenang di sungai tersebut serempak naik ke darat karena arus sangat deras.

sambil menunggu malam tiba saya dan rombongan mencari aktifitas seperti bercerita, bermain sulap, bercanda, dll. tanpa kami sadari ada seorang masyarakat dari badui dalam dating (cirri khasnya adalah menggunakan baju putih dan tutup kepala putih) ke rumah tempat kami bermalam. entah apa gerangan beliau dengan setia menemani kami walaupun tujuan awalnya adalah menjual dagangan assesoriesnya.
Tepat begitu matahari terbenam, suasana desa tersebut sangat hening dan tenang seolah tidak ada kehidupan. suara jangkrik terdengar cukup nyaring, namun tidak terdengar suara masyarakat setempat setelah maghrib tiba (kira2 pukul 18.30 WIB)
puas bercerita dan bercanda sampai larut malam, kami beristirahat. sebagian tidur di dalam rumah dan sebagian lagi tidur diteras rumah.

Setelah fajar menyingsing (udah pagi maksudnya), seorang pedagang nasi uduk menenteng jualannya untuk berjualan tepat di depan rumah tempapt kami menginap. ga komplit rasanya kalau tidak mencicipi sarapan tradisional masyarakat setempat.


Sarapan yang dijual pedagang di Baduy Luar


Tepat pukul 09:00 WIB, kami memutuskan untuk meninggalkan desa tersebut namun melalui jalur yang berbeda.
Sekitar 1 jam perjalanan terlihat sangat banyak kayu gelondongan bekas ditebang dihanyutkan disungai. Terlintas dipikiran saya itu adalah hasil pembalakan liar, tapi sudahlah perjalanan kembali dilanjutkan. setelah berjalan beberapa waktu, rasa letih datang menghampiri, akhirnya kami putuskan untuk mampir di salah satu warung sambil melepas lelah. setelah beristirahat dan puas berfoto ria, kami melanjutkan perjalanan balik sekitar 2 jam ke rumah pak erwin untuk menikmati makan siang.
Banyak tumbuhan dan hewan yang belum pernah saya temukan saya temui disana. akhirnya, kami sampai di rumah pak erwin, sambil melepas lelah sebagian dari kami membeli kain tenun dan beberapa hiasan accesories.

sekitar pukul 15.00 WIB, kami berangkat untuk kembali ke jakarta.