Sebelum membahas lebih dalam mengenai suku badui luar, saya hendak berbagi informasi mengenai suku baduy luar.
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Untuk wilayah kanekes itu sendiri berada tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, yang hanya berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Berdasarkan cerita dari masyarakat setempat, nama baduy sendiri diambil dari nama sungai yang melewati wilayah itu yaitu sungai Cibaduy.
Masyarakat Baduy mayoritas memilik mata pencaharian sebagai petani (bertani) dan menjual buah-buahan yang mereka dapat dari hasil bercocok tanam ataupun langsung dari hutan.
Suku baduy terbagi atas 2 bagian besar, yaitu :
1. Badui Luar
2. Badui DalamKali ini saya akan menceritakan mengenai perjalanan saya mengunjungi suku badui Luar. Awalnya saya sama sekali tidak tahu kalau suku baduy itu merupakan salah satu suku di banten, jawa barat (shame me). sampai suatu saat seorang teman lama (ferdinand a.k.a didi) mengajak saya untuk nge-trip untuk mengenal suku baduy luar serta melihat dari dekat keindahan alam dan budaya dari suku baduy luar tersebut. Awalnya saya bingung antara pergi atau tidak, namun berhubung saya juga butuh refreshing setelah bertempur dikantor seminggu penuh (read : kerja), akhirnya saya memutuskan untuk ikut.
Sebelum kami berangkat, diinformasikan bahwa untuk menjaga kebersihan dan kelestarian wilayah badui, kami disarankan untuk tidak membawa segala sesuatu yang terbuat dari besi (katanya sih hukum adat) dan bahan2 kimia yang berbahaya untuk lingkungan (sabun, dll).
pada tanggal 12 maret 2010, tepat pukul 22.00 WIB, saya beserta rombongan (trinity naked traveler, teman2 Couch Surfing Indonesia dan teman2 Couch Surfing dari Jerman) berangkat dari Jakarta menuju Terminal Ciboleger Banten, yaitu terminal terakhir yang bisa dijangkau oleh kendaraan umum.
Lebih kurang 4-5 jam menempuh perjalanan dengan medan jalan yang cukup parah, akhirnya kami tiba di terminal ciboleger, untuk selanjutnya berjalan kaki ke desa baduy luar.
saat itu matahari masih belum tinggi, tercium bau suasana pedesaan dan segarnya udara yang tidak tercemar oleh polusi. sambil menunggu local guide (pak erwin), kami mencicipi sarapan pagi (pisang goreng) yang dijual di salah satu warung tradisional terminal ciboleger.
Terminal Ciboleger
saat itu matahari masih belum tinggi, tercium bau suasana pedesaan dan segarnya udara yang tidak tercemar oleh polusi. sambil menunggu local guide (pak erwin), kami mencicipi sarapan pagi (pisang goreng) yang dijual di salah satu warung tradisional terminal ciboleger.
Tujuan pertama kami saat itu adalah jembatan akar yang konon cukup terkenal. karena jembatan ini merupakan satu2nya jalan yang menghubungkan badui dalam luar dan badui dalam. Berhubung jaraknya cukup jauh, kami menggunakan bus dan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Bukit2 dan lembah2 memanjakan mata saya dan rombongan. Setelah berjalan sekitar 1 jam lebih dengan medan yang cukup terjal, kami sampai ke jembatan akar tersebut. Masyarakat setempat membuat jembatan ini memanfaatkan akar dari pohon2 yang ada disekitar sungai. sungguh sebuah mahakarya dari masyarakat setempat yang tidak memiliki background pendidikan arsitektur.
Puas menikamati jembatan tersebut, kami kembali ke terminal ciboleger untuk melanjutkan perjalanan ke desa baduy luar.
Rumah tetua adat adalah tempat yang pertama kali harus kami kunjungi untuk meminta ijin masuk ke wilayah badui luar sambil memberi duit secara sukarela.
Sebelum jauh berjalan ketengah "hutan", kami mengunjungi rumah local guide yang merupakan representasi dari masyarakat setempat. tampak mesin tenun tradisional bukan mesin di teras rumah panggung beliau. sebagian masyarakat disana memiliki pekerjaan lain sebagai penjual accesories dan hiasan tenun.
yaakk, setelah istrahat sebentar kami memulai perjalanan kami. banyak saya jumpai lumbung padi dan alat penumbuk padi tradisonal pada desa yang kami lewati.
Sebagai informasi, kami harus melewati beberapa desa untuk sampai ke perkampungan tujuan kami. jalan terjal, licin dan menanjak menghiasi perjalanan.
Kali ini kami cukup beruntung bertemu dengan beberapa anak kecil dari salah satu kampung, tawa riang dan sendau gurau lepas begitu saja dari mulut mereka. walaupun tidak semua masyarakat disana mengerti bahasa indonesia, namun mereka cukup senang dengan kehadiran kami disana.
Alat Penumbuk Padi Tradisional
Sebagai informasi, kami harus melewati beberapa desa untuk sampai ke perkampungan tujuan kami. jalan terjal, licin dan menanjak menghiasi perjalanan.
Salah satu tanjakan selama perjalanan
Kali ini kami cukup beruntung bertemu dengan beberapa anak kecil dari salah satu kampung, tawa riang dan sendau gurau lepas begitu saja dari mulut mereka. walaupun tidak semua masyarakat disana mengerti bahasa indonesia, namun mereka cukup senang dengan kehadiran kami disana.
Bersama anak suku Baduy Luar
Tak lupa kami menyapa (“selamat pagi” dan “permisi”) setiap kali kami bertemu dengan penduduk setempat. walaupun perjalanan cukup jauh, canda tawa terus menghiasi perjalanan sambil tak pernah lupa untuk tetap eksis di depan kamera tiap kali ada anggota rombongan mengeluarkan kameranya (wajib hukumnya tetap eksis).
Ada sebuah sungai yang sangat jenih, yang menurut informasi dari local guide, sungai tersebut sangat dijaga kebersihan dan kelestariannya oleh masyarakat setempat. saking terjaganya saya sangat ingin untuk nyemplung dan berenang disungai tersebut.
Tepat 3 jam berjalan, saya dan rombongan tiba di rumah penduduk yang kami sewa untuk menginap malam itu. rumahnya sangat tradisonal. rumah panggung dengan arsitektur cukup sederhana dengan lantai dari papan, tidak ada listrik didaerah tersebut sama sekali, toilet yang berada diluar rumah, bahkan sinyal telepon didaerah itu hanya dilayani oleh ind*s*t.
Tidak begitu jauh dari tempat kami akan menginap sebuah sungai yang masih menjadi bagian dari sungai yang saya sebutkan sebelumnya. batu2 terhampar secara alami, air sungai berwarna hijau, arus sungai yang tenang, pepohonan yang rimbun di sepanjang sungai dan desa tersebut menambah eksotisme dari desa tersebut.
Sungai di Baduy Luar
sambil menunggu malam tiba saya dan rombongan mencari aktifitas seperti bercerita, bermain sulap, bercanda, dll. tanpa kami sadari ada seorang masyarakat dari badui dalam dating (cirri khasnya adalah menggunakan baju putih dan tutup kepala putih) ke rumah tempat kami bermalam. entah apa gerangan beliau dengan setia menemani kami walaupun tujuan awalnya adalah menjual dagangan assesoriesnya.
Tepat begitu matahari terbenam, suasana desa tersebut sangat hening dan tenang seolah tidak ada kehidupan. suara jangkrik terdengar cukup nyaring, namun tidak terdengar suara masyarakat setempat setelah maghrib tiba (kira2 pukul 18.30 WIB)
puas bercerita dan bercanda sampai larut malam, kami beristirahat. sebagian tidur di dalam rumah dan sebagian lagi tidur diteras rumah.
Setelah fajar menyingsing (udah pagi maksudnya), seorang pedagang nasi uduk menenteng jualannya untuk berjualan tepat di depan rumah tempapt kami menginap. ga komplit rasanya kalau tidak mencicipi sarapan tradisional masyarakat setempat.
Sarapan yang dijual pedagang di Baduy Luar
Tepat pukul 09:00 WIB, kami memutuskan untuk meninggalkan desa tersebut namun melalui jalur yang berbeda.
Sekitar 1 jam perjalanan terlihat sangat banyak kayu gelondongan bekas ditebang dihanyutkan disungai. Terlintas dipikiran saya itu adalah hasil pembalakan liar, tapi sudahlah perjalanan kembali dilanjutkan. setelah berjalan beberapa waktu, rasa letih datang menghampiri, akhirnya kami putuskan untuk mampir di salah satu warung sambil melepas lelah. setelah beristirahat dan puas berfoto ria, kami melanjutkan perjalanan balik sekitar 2 jam ke rumah pak erwin untuk menikmati makan siang.
Banyak tumbuhan dan hewan yang belum pernah saya temukan saya temui disana. akhirnya, kami sampai di rumah pak erwin, sambil melepas lelah sebagian dari kami membeli kain tenun dan beberapa hiasan accesories.
No comments:
Post a Comment